Recent Articles

Selasa, 20 Mei 2014

Kampung Bugis di Belahan Dunia

Orang Bugis atau To Ugi dari duhulu hingga sekarang dikenal sebagai suku perantau yang suka bertualang dari daerah satu ke daerah yang lain, berdagang, berpindah, selain juga sangat dinamis dan berani ambil risiko. Orang Bugis berkerabat dekat dengan orang Mandar di Sulawesi Barat dan orang Makassar di ujung selatan Sulawesi, walaupun pada akhirnya ada istilah Bugis Mandar dan Bugis Makassar yang menimbulkan persepsi kalau Bugis, Makassar dan Mandar itu sama, padahal sebenarnya berbeda walaupun ada persamaan dalam penulisan (sama-sama menggunakan aksara lontara) dan sebagian di busananya.
Sejak sekitar kurun abad ke-16, orang Bugis memeluk Islam dan kerajaan Goa-Tallo
mencapai puncak kejayaannya. Namun kemudian Belanda menguasai kawasan tersebut sehingga mengakibatkan banyak orang-orang Bugis kemudian menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Disamping itu, kerajaan Bone yang ada di bagian timur Sulawesi Selatan kemudian berlangsung hingga abad ke-19 dan kembali diaspora orang Bugis terjadi. Kemudian dalam perkembangannya, orang Bugis banyak mempengaruhi sejarah serta sistem pemerintahan di wilayah mana mereka tinggal. Ada prinsip yang mereka pegang teguh 'di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung' maksudnya bila mereka datang ke suatu daerah mereka menganggapnya sebagai kampung halamannya.
Dari berbagai referensi bahwa pada abad ke-17 dan 18 orang Bugis memperoleh pengaruh di Kerajaan Johor- Riau-Lingga sehingga Semenanjung Melayu. Selain itu juga peranan orang Bugis
di kawasan timur Malaysia juga sangat besar. Banyak sultan-sultan di kawasan itu yang sekurang-kurangnya sebahagian tubuhnya dialiri darah Bugis. Memang pada masa lalu, orang-orang Bugis
dikenal sebagai peneroka ulung yang ditakuti di mana-mana, dan banyak kumpulan lanun Bugis yang kemudian menjadi penguasa, khususnya di kawasan Kepulauan Riau dan Semenanjung. Selain itu, banyak kumpulan perlawanan Bugis seperti Karaeng Galesong yang membantu Trunojoyo dalam melawan Belanda di sepanjang pantai utara Jawa
dengan menubuhkan markas di Pasuruan pada tahun 1675-1679. Orang Bugis juga banyak yang menjadi tentera bayaran untuk melindungi kepentingan-kepentingan
kerajaan yang mereka diami. Seperti contohnya di Bali, bahkan sampai Jogjakarta dan Bima. Diaspora orang Bugis sendiri sangatlah luas, hingga melibatkan hampir seluruh wilayah Nusantara (termasuk Singapura dan Malaysia), baik di bandar maupun luar bandar. Mereka
membina penempatan- penempatan yang kemudian dalam sejarahnya melebur dengan penduduk sekitarnya. Pemukiman orang Bugis di berbagai wilayah sendiri juga sebahagian besar penduduknya telah kehilangan bahasa Bugis dan budayanya, serta telah digantikan oleh bahasa dan budaya penduduk tempat mereka tinggal, terutama sekali di pulau Sumatera, Jawa dan Madura. Untuk Pulau Sumatera, mereka tersebar di bandar-bandar bahagian timur, khususnya di Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Sedangkan di Pulau Jawa, mereka tinggal di bandar- bandar utama seperti Kuala Lumpur, Kuala Lumpur, Kuala Lumpur, Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Malang dan sebagainya. Di Pulau Karimunjawa, Jawa Tengah, terdapat satu perkampungan Bugis yang ada di dusun Batulawang, desa Kemujan. Penduduk kampung Bugis ini hidup membaur dengan orang Jawa, Madura, Tengah dan Bajo yang juga tinggal dikawasan itu. Daerah Bugisan, Jogjakarta konon juga dulunya adalah penempatan para perajurit Bugis yang direkrut Raja Jogjakarta dimasa lalu dan kini menjadi bahagian bandar Jogjakarta. Sedangkan di Jawa Timur sendiri, banyak kerabat kerajaan Madura yang k4win mawin dengan orang
Bugis. Keturunan Bugis ini banyak dijumpai di Sumenep, dan Kepulauan Kangean serta kepulauan Masalembu. Pulau Bali juga menyimpan beberapa kampung Bugis. Mereka juga adalah keturunan pedagang dan tentera yang kemudian menetap dan berkahwin dengan penduduk tempatan.
Kampung Islam yang banyak dihuni orang Bugis terdapat di Pulau Serangan, Tanjong Tokong, Kepaon, Port Dickson dan, Kampung Loloan (berbaur dengan keturunan Melayu dari Pahang, Trengganu dan Kuching), kampung- kampung Islam di kawasan Nusa Penida dan beberapa komuniti kecil baik yang tergabung dalam banjar besar ataupun kampung tersendiri. Di Nusa Tenggara, banyak penempatan Bugis yang dijumpai utamanya di kawasan Kuantan, Flores, Solor, Alor, dan Timor, khususnya di kawasan bandar. Bahkan dari segi pakaian, masyarakat Sumbawa dan Bima banyak terpengaruh oleh Bugis. Dan gelar Kraeng yang dipakai suku Manggarai di Flores juga berakar dari kata Karaeng. Sedangkan di Pulau
Kalimantan, orang Bugis (termasuk Mandar) banyak dijumpai di Kotabaru dan Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan) serta sepanjang pesisir Kalimantan Timur (Pasir hingga Pulau Sebatik) hingga Sabah, Malaysia.
Orang Bugis juga tinggal di sepanjang Sungai Mahakam dari Melak di hulu hingga Samboja di hilir sungai. Sarung Tenun Samarinda yang popular itu juga dihasilkan orang-orang Bugis yang ternyata perintis penubuhan bandar Samarinda, ibukota Kaltim ini, yang kebanyakan menumpukan perhatian di Samarinda seberang. Lebih besar lagi pengaruh Bugis di Sulawesi, Maluku Utara, Maluku dan Papua di mana di hampir seluruh pulau boleh dijumpai komuniti- komuniti Bugis, apalagi di pasar-pasar. Dimasa lalu juga, kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan juga sekurang-kurangnya mendapat pengaruh dari Bugis. Bahkan orang Bugis berdagang sampai di sempadan Malaysia-Papua New Guinea atau bandar Merauke, bandar tertimur di Malaysia. Itu hanya sebahagian dari persebaran orang Bugis, baik yang sejak berabad-abad silam mahupun pendatang- pendatang baru yang datang untuk bekerja atau belajar, utamanya di pulau Jawa.
Banyak sekali orang-orang Bugis yang menjadi orang berpengaruh di berbagai tempat, baik di bidang ekonomi maupun pemerintahan di Malaysia dan sudah dua orang Bugis yang memegang jabatan tertinggi dalam kerajaan antara lain BJ Habibi dan Jusuf Kalla. Pendek kata, pengaruh Bugis dalam pembentukan masyarakat Malaysia tidak boleh diabaikan sama sekali. Mereka juga turut berperanan serta dalam melawan penjajahan serta memperjuangkan
kemerdekaan bangsa ini, jadi tanpa peranan serta mereka maka bangsa kita takkan terbentuk seperti sekarang ini.

Sumber :
https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=445529478868119&id=414761031944964

Jumat, 17 Mei 2013

NILAI-NILAI LUHUR KABUPATEN SINJAI


Nilai-nilai yang dikembangkan adalah nilai-nilai luhur yang berkembang dan menjadi harapan masyarakat Sinjai serta nilai-nilai yang diadopsi dari prinsip-prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yakni :
  • Sirui’menre’tessirui no’,Mali Sipareppe, Malilu Sipakainge. Kalimat ini mengandung nilai dan semangat persatuan, kebersamaan, kesetiakawanan untuk saling mendukung dan saling mengingatkan.
  • Sipakatau. Saling menghormati antara satu dengan yang lain sebagai wujud pengakuan atas kesederajatan manusia ciptaan Tuhan
  • Lempu (jujur) Getteng (tegas, berani dan kuat dalam pendirian), Ada Tongeng (berpegang pada kebenaran), Temmappasilaingeng (berlaku adil pada semua pihak)
  • Kesetaraan. Memberikan peluang yang sama kepada setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya
  • Akuntabilitas. Setiap keputusan, kebijakan dan kegiatan yang dilaksanakan harus dapat dipertanggungjawabkan dengan baik
  • Transparansi. Menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjaminkemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai
  • Efektif dan efisien. Menjamin terselenggaranya pelayanan masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab
  • Partisipatif Mendorong setiap warga untuk menyampaikan pendapat dalam pengambilan keputusan bagi kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung
  • Religiusitas. Seluruh aktivitas Pemerintah Daerah, DPRD, swasta dan masyarakat dilandasi dengan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan daerah.
 
Noble values

Values that are developed are noble values and a growing public expectation Sinjai and the values adopted from the principles of good governance (good governance), namely:

 1. Sirui'menre'tessirui no ', Mali Sipareppe, Malilu Sipakainge. This sentence contains the value and spirit of unity, togetherness, solidarity to support each other and remind each other.
 2. Sipakatau. Mutual respect between one another as a form of recognition of the equality of human beings created by God
 3.    Lempu (honest) Getteng (assertive, bold and strong in the establishment), There Tongeng (adhering to the truth), Temmappasilaingeng (to be fair to all parties)
 4.    Equality. Provide equal opportunity to every member of society to improve their welfare
 5.    Accountability. Any decisions, policies and activities carried out must be accounted for
6.     Transparency. Creating mutual trust between the government and the community through the provision of information and menjaminkemudahan in obtaining accurate information and adequate
7.     Effective and efficient. Ensure the implementation of public services by using available resources optimally and responsibly
 8.    Encouraging participatory every citizen to express opinions in decision making for public benefit, either directly or indirectly
  9.   Religiosity. All the activities of local governments, parliaments, private and community based on the religious values in daily life including planning, implementation and supervision of regional development.

Sumber ; www.sinjaikab.go.id

Arti logo Kab.Sinjai



Lambang Daerah Kabupaten Sinjai ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai Nomor 6/PERDA/DPRD-1974 tentang Lambang Daerah berupa perisai bulat panjang dengan ukuran perbandingan tinggi dan lebar adalah 3 : 2, Makna yang terkandung dalam lambang daerah secara umum dapat dideskripsikan sebagai berikut:
  1. Kuda berwarna putih : Gambar ini dilatarbelakangi kondisi masa lalu dimana masyarakat Sinjai sebagian besar menggunakan Kuda sebagai hewan yang paling dominan membantu aktivitas keseharian masyarakat dan bahkan menjadi “kendaraan resmi raja-raja” yang kadang juga digunakan sebagai kendaraan perang. Selain itu kuda, juga melambangkan keperkasaan, ketekunan dan semangat kerja keras yang dimiliki masyarakat Sinjai. Sementara warna putih melambangkan bahwa dalam keperkasaan terkandung makna kesucian dan kejernihan itikad dan motivasi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan kehidupan kemasyarakatan.
  2. Perahu berwarna kuning : selain sebagai alat transportasi utama di perairan Sinjai dikala itu, maka gambaran perahu ini pula masyarakat Sinjai dalam mengarungi perjalanan sejarah yang panjang yang tentunya akan melalui berbagai riak-riak ombak sebagai gambaran tantangan yang akan dihadapi masyarakat dalam mewujudkan harapan Sinjai yang sejahtera.
  3. Perisai bulat panjang dengan warna hijau; Perisai menunjukkan sebagai benteng diri atau kelompok yang dapat divisualisasikan sebagai kuatnya komitmen kelompok untuk menjaga diri dari pengaruh-pengaruh negatif dari perkembangan budaya.
  4. Sementara warna hijau : melambangkan kesuburan bumi dengan segala potensinya, tempat masyarakat Sinjai menggantungkan harapan-harapan hidupnya.
  5. Simpul Pita pada leher kuda merupakan repsentasi 5 (lima) kecamatan (pada awal pembentukan) yang berada dalam sebuah bingkai ikatan kesatuan Kabupaten Sinjai.
  6. Pasak dengan warna putih menggambarkan ikatan kesatuan masyarakat di 38 (tiga puluh delapan) desa se-Kabupaten Sinjai ketika Sinjai resmi dibentuk menjadi sebuah Kabupaten Daerah Tingkat II. Hal ini juga melambangkan kerelaan masyarakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah simpul kesatuan daerah.
  7. Bingkai berwarna hitam melambangkan kebulatan tekad masyarakat Sinjai.
  8. Tulisan SINJAI berwarna putih melambangkan kesucian dan keteguhan dalam perdamaian
  9. Warna dasar kuning melambangkan keagungan nama Sinjai sebagai daerah yang dikenal dengan nama yang harum sebagai Daerah Kabupaten.
 
Meaning Logo

Coat Sinjai District established by Regulation No. 6/PERDA/DPRD-1974 Sinjai District on the Regional Emblem of elliptic shield with a size ratio of the height and width is 3: 2, meaning of symbols contained in the area can generally be described as follows:
    
    - White horse: This image is the background conditions of the past where people use horse Sinjai most as the most dominant animal that helps the community's daily activities and even become "official vehicle of the kings" is sometimes also used as a vehicle of war. Besides horses, also symbolizes the courage, perseverance and spirit of hard work in the communities Sinjai. While the white symbolizes the purity of meaning contained in the courage and clarity of intention and motivation in carrying out activities and social life.
   
   - Yellow boat: in addition to the main transportation means in the waters of Sinjai dikala it, then the picture of this boat are Sinjai community in the journey of a long history, which would certainly ripples through the waves as a picture of the challenges that will confront society in realizing the hopes of a prosperous Sinjai .
    
  -  Elliptic shield with a green color; shield shows a castle or a group of self that can be visualized as a strong commitment to keep the group away from the negative influences of cultural development.

    
  -  While the green color: symbolizes the fertility of the earth with all its potential, where people hang Sinjai life expectations.

  -       Ribbon knot on the neck of the horse is repsentasi 5 (five) sub (at the beginning of the formation) which is in a frame Sinjai District bond of unity.
    
  -  Pegs with white people describe the bond of unity in the 38 (thirty eight) Village District as authorized Sinjai Sinjai when formed into a Level II Regional District. It also symbolizes the community's willingness to engage in a node unified area.
    
   - The frame is black symbolizes the people's determination Sinjai.
    
   - Posts Sinjai white symbolizes purity and constancy in peace
   - Primary color yellow symbolizes the greatness of the name Sinjai as areas known as fragrant as the Regional District.
 
 sumber : www.sinjaikab.go.id

SEJARAH SINJAI

 sumber :
             www.sinjaikab.go.id


 Kabupaten Sinjai mempunyai nilai histories tersendiri, dibanding dengan kabupaten-kabupaten yang di Propinsi Sulawesi Selatan. Dulu terdiri dari beberapa kerajaan-kerajaan, seperti kerajaan yang tergabung dalam federasi Tellu Limpoe dan Kerajaan – kerajaan yang tergabung dalam federasi Pitu Limpoe.
( Sinjai district has its own historical value, compared with districts in South Sulawesi Province. It used to consist of several kingdoms, such as belonging to the royal federation Tellu Limpoe and the Kingdom - the kingdom who are members of the federation Limpoe Pitu.)

Tellu limpoe terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berada dekat pesisir pantai yakni Kerajaan  yakni Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti, serta Pitu Limpoe adalah kerajaan-kerajaan yang berada di daratan tinggi yakni Kerajaan Turungen, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka.
(Tellu limpoe consists of the kingdoms that are near the coast of the Kingdom of the Tondong, Bulo-Bulo and Lamatti, and Pitu Limpoe the kingdoms in the highlands of the Kingdom of Turungen, Manimpahoi, feels, Pao, Manipi, Joy and Bala like.) 
Watak dan karakter masyarakat tercermin dari system pemerintahan demokratis dan berkedaulatan rakyat. Komunikasi politik di antara kerajaan-kerajaan dibangun melalui landasan tatanan kesopanan Yakni Sipakatau yaitu Saling menghormati, serta menjunjung tinggi nilai-nilai konsep “Sirui Menre’ Tessirui No’ yakni saling menarik ke atas, pantang saling menarik ke bawah, mallilu sipakainge yang bermakna bila khilaf saling mengingatkan.
  (The nature and character of society is reflected in the system of democratic government and the sovereign people. Political communication between the kingdoms of the foundation structure is built through the courtesy That Sipakatau Mutual respect, and uphold the values of the concept of "Sirui Menre 'Tessirui No' which attract each other up, never pull each other down, mallilu sipakainge meaningful if err remind each other.)

Sekalipun dari ketiga kerajaan tersebut tergabung ke dalam Persekutuan Kerajaan Tellu Limpo’E namun pelaksanana roda pemerintahan tetap berjalan pada wilayahnya masing-masing tanpa ada pertentangan dan peperangan yang terjadi diantara mereka.
(Even from the three kingdoms are incorporated into the Empire Guild Tellu Limpo but the wheels of government continue to run in their respective areas without any conflicts and wars that took place between them.)

Bila ditelusuri hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada di kabupaten Sinjai di masa lalu, maka nampaklah dengan  jelas bahwa ia terjalin dengan erat oleh tali kekeluargaan yang dalam Bahasa Bugis disebut SIJAI artinya sama jahitannya.
(When exploring the relationship between the kingdoms in Sinjai district in the past, then It appeared clearly that it is closely intertwined with the kinship of the Bugis language called SIJAI means the same seam.)
Hal ini diperjelas dengan adanya gagasan dari LAMASSIAJENG Raja Lamatti X untuk memperkokoh bersatunya antara kerajaan Bulo-Bulo dan Lamatti dengan ungkapannya "PASIJA SINGKERUNNA LAMATI BULO-BULO" artinya satukan keyakinan Lamatti dengan Bulo-Bulo, sehingga setelah meninggal dunia beliau digelar dengan PUANTA MATINROE RISIJAINA.
(This is made clear by the idea of LAMASSIAJENG King Lamatti X to strengthen the union between the kingdom and Bulo-Bulo Lamatti with the phrase "PASIJA Bulo-Bulo SINGKERUNNA LAMATI" means to bring together faith-Bulo Bulo Lamatti with, so that after death he held with PUANTA MATINROE RISIJAINA .)  
Eksistensi dan identitas kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai di masa lalu semakin jelas dengan didirikannya Benteng pada tahun 1557. Benteng ini dikenal dengan nama Benteng Balangnipa, sebab didirikan di Balangnipa yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten Sinjai.Disamping itu, benteng ini pun dikenal dengan nama Benteng Tellulimpoe, karena didirikan secara bersama-sama oleh 3 (tiga) kerajaan yakni Lamatti, Bulo-bulo, dan Tondong  lalu dipugar oleh Belanda melalui perang Manggarabombang.
 (Existence and identity of the kingdoms that exist in the district in the past Sinjai increasingly clear with the establishment of the Citadel in 1557. This fortress known as Fort Balangnipa, as established in what is now Balangnipa Sinjai.Disamping Capital District, the fort is also known as Fort Tellulimpoe, since it was established jointly by the 3 (three) Lamatti the kingdom, Bulo-Bulo, and then restored by the Dutch Tondong through Manggarabombang war.)
Agresi Belanda tahun 1859 – 1561 terjadi pertempuran yang hebat sehingga dalam sejarah dikenal nama Rumpa’na Manggarabombang atau perang Mangarabombang, dan tahun 1559 Benteng Balangnipa jatuh ke tangan belanda.
(Aggression Netherlands in 1859 - 1561 occurred the great battle that is known names in the history or war Rumpa'na Manggarabombang Mangarabombang, and in 1559 went to Fort Balangnipa dutch.)
Tahun 1636  orang Belanda mulai datang ke daerah Sinjai. Kerajaan-kerajaan di Sinjai menentang keras upaya Belanda untuk mengadu domba menentang keras upaya Belanda unntuk memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di suilawesi Selatan. Hal ini mencapai puncaknya dengan terjadinya  peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Belanda yang mencoba membujuk Kerajaan Bulo-bulo untuk melakukan peran terhadap kerajaan Gowa.Peristiwa ini terjadi tahun 1639.
(In 1636 the Dutch began to come to the area Sinjai. Sinjai kingdoms in the Netherlands strongly opposes efforts to play off against the hard efforts unntuk divisive Dutch empires in South suilawesi. This culminated in the murder of Dutch people who tried to persuade the Kingdom of Bulo-Bulo to perform the role of the monarchy Gowa.Peristiwa occurred in 1639.)
Hal ini disebabkan oleh rakyat Sinjai tetap perpegan teguh pada PERJANJIAN TOPEKKONG. Tahun 1824 Gubernur Jenderal Hindia Belanda VAN DER CAPELLAN datang dari Batavia untuk membujuk I CELLA ARUNG Bulo-Bulo XXI agar menerima perjanjian Bongaya dan mengisinkan Belanda Mendirikan Loji atau Kantor Dagang di Lappa tetapi ditolah dengan tegas.
(This is caused by people Sinjai perpegan remain steadfast in TOPEKKONG AGREEMENT. In 1824 the Governor-General of the Dutch East Indies VAN DER CAPELLAN came from Batavia to persuade the I-Bulo Bulo Cella whitewater XXI to accept the agreement and permit you Bongaya Establishing Loji or Dutch Trade Office in lappa but firmly rejected.)
Tahun 1861  berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi dan Daerah, takluknya wilayah Tellulimpoe Sinjai dijadikan satu wilayah pemerintahan dengan sebutan Goster Districten. Tanggal 24 pebruari 1940, Gubernur Grote Gost menetapkan pembangian administratif untuk daerah timur termasuk residensi Celebes, dimana Sinjai bersama-sama  beberapa kabupaten lainnya berstatus sebagai Onther Afdeling Sinnai terdiri dari beberapa adats Gemenchap, yaitu Cost Bulo-bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Bulo-bulo, Manipi dan Turungeng.
(In 1861 by Governor's Decree and the Sulawesi Region, surrender Sinjai Tellulimpoe region into one region as Goster Districten government. On 24 February 1940, Governor Grote GOST establish administrative pembangian to the east including residency Celebes, where Sinjai together some of the other districts existed as onther Afdeling Sinnai consists of several adats Gemenchap, namely Cost-Bulo Bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Bulo-Bulo, Manipi and Turungeng.)             
Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan dan namanya ditatah sesuai dengaan  kebutuhan Bala Tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng.             
 (During the Japanese occupation, the structure of government and carved his name in accordance dengaan Bala needs of Japanese soldiers stationed in Gojeng)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 yakni tanggal 20 Oktober 1959 Sinjai resmi menjadi sebuah kabupaten berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 1959.
(After the Declaration of Independence in 1945 which is dated October 20, 1959 Sinjai officially became a county pursuant to Act No. 29 of 1959.)

Dan pada tanggal 17 Pebruari 1960 Abdul Latief dilantik menjadi Kepala Daerah Tingak II Sinjai yang Pertama.
And on 17 February 1960 Abdul Latif was appointed to be Head of the First Sinjai Tingak II.

Hingga saat ini Kabupaten Sinjai telah dinahkodai oleh 7 (tujuh) orang putra terbaik yakni dan saat ini Kabupaten Sinjai dipimpin oleh Bapak Andi Rudiyanto Asapa, SH, MH.

Dengan motto SINJAI BERSATU Kabupaten sinjai terus maju dan berkembang menuju masa depan yang cerah..............!!!
(Until now the district has dinahkodai Sinjai by 7 (seven) and the best sons of the District is currently chaired by Mr Andi Sinjai Rudiyanto Asapa, SH, With the motto united Sinjai Sinjai district continues to progress and develop towards a bright future ..............!)
 
Adapun Bupati yang pernah menjabat sebagai Kepala Daerah di Kabupaten Sinjai adalah :
  The Regent who has served as Head of Region in Sinjai District are:
1. Mayor Abdul Lathief                                 Tahun  1960 - 1963
2. Andi Azikin                                                  Tahun  1963 - 1967 
3. Drs. H. Muh. Nur Thahir   Tahun  1967 - 1971
4. Drs. H. Andi Bintang   Tahun  1971 - 1983 ( 2 Periode )
5. H. A. Arifuddin Mattotorang, SH   Tahun  1983 - 1993 ( 2 Periode )
6. H. Muh. Roem, SH, M.Si   Tahun  1993 - 2003 ( 2 Periode )
7. Andi Rudiyanto Asapa, Sh, LLM  Tahun  2003 - 2013 ( 2 Periode ) 

TOTAL PENAYANGAN

Recent Posts

Recent Posts

Chrome Pointer

SARAN DAN KRITIK